jurnalisme komik
Pagi menjelang siang. Udara semakin menghangat. Mataku setengah terbuka, dengan menahan rasa ngantuk yang menyengat, kuseret langkah ke kamar mandi, byuurr!! Air memancar deras dari keran, kualiri tiap permukaan tubuhku dengan segarnya air. Rasa kantukku mendadak sirna, sedikit tersisa di mataku yang sembab. Setiap hari. Begitulah kalau kerja malam, pulang jam satu pagi, tidur jam 2 sampe jam 10 pagi.
Awal april 2006 lalu, abang senior satu jurusan menghubungi aku, dia bilang koran tempat ia bekerja sedang butuh illustrator, aku diminta menempati posisi itu. Esoknya aku wawancara, Alhamdulillah diterima. Kuterima tanpa pertimbangan, mengenai skripsi…ah pasti bisa kuselesaikan sembari aku bekerja. Padahal waktu itu, judul skripsiku baru saja disetujui ketua jurusan, belum seminar. Judulnya “Penyajian Berita melalui Jurnalisme Komik (Analisis Semiotika Komik Jurnal Joe Sacco The Palestine” . Kalau nanti saya ditanya dosen penguji sewaktu sidang meja hijau tentang mengapa meneliti ini, pasti karena saya tertarik jawabnya selain susunan kalimat yang kusandingkan dengan syarat suatu penelitian diantaranya ada permasalahan, dan ada teori.
Berawal dari rasa skeptis terhadap pemberitaan isu Timur Tengah oleh media-media di negaranya-Amerika yang terkesan memihak kepentingan
Jika dibandingkan dengan media penyampaiberita yang lain seperti televisi dan koran, komik memiliki kelemahan dari segi kecepatan/waktu. Tetapi dengan reportase yang mendalam dan
Bagi para jurnalis, komik bisa jadi media alternatif yang menarik dan komunikatif lho..untuk menyampaikan berita.
Dan bagi para komikus, sisi kemanusiaan (human interest) di sekitar kita bisa jadi ide cerita atau berita yang bagus dalam komikmu.
Cari dan temukan peristiwa apa yang mau diangkat. Kumpulkan informasi dan data bukan dengan prasangka tetapi dengan fakta. Verifikasi informasi dengan mencari berbagai saksi, bukti (foto, dokumen, dll), dan menyingkap sebanyak mungkin sumber atau bertanya (wawancara) berbagai pihak untuk komentar. Tanya apa (what), siapa (who), dimana (where), kapan (when), kenapa (why) dan bagaimana (how) ditambah lalu apa (so what) yang menanyakan dampak terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa ini dan apa pula dampaknya bagi pembaca. Dalam Palestine, Sacco selalu menenteng tas kecil berisi kamera dan buku catatan. Bila narasumbernnya menolak untuk difoto, maka ia berusaha mencoba mengingat2 wajah dan diam2 menggambarnya.
Nah terserah anda bagaimana mau menggambarnya, membuat alur ceritanya. Jangan lupa sisipkan tanggal/waktu, nama tempat. Yang obyektif adalah metodenya, tidak wartawannya.
Sebagai ciptaan Dzat Yang Mahaindah, manusia cenderung untuk menciptakan dan menikmati keindahan itu dengan berkesenian. Baik itu dengan musik, lukisan maupun sastra. Al-Qur’an adalah contoh konkrit betapa indah bahasanya. Meskipun Qur’an bukan buku sastra, tetapi seni sastra yang digunakannya memberikan rangkaian kata yang sangat indah sekaligus makna yang mendalam dan pesan yang membuat rasa dan rasio terpuaskan.
Saya suka menggambar/melukis dan pernah beberapa kali mengalami kebingungan dalam diri tentang larangan menggambar benda hidup.
Sebaiknya, sejauh perbedaan itu menyangkut hal-hal yang partikular, seperti soal seni musik dan gambar, tidak perlu diperuncing sehingga memasung kreativitas berkesenian. Sebaliknya, para pelaku seni pun perlu memahami bahwa seni apapun yang dipilih dan dikembangkan tidak bisa hanya dilihat dari segi keindahan belaka. Itu artinya ia tidak boleh menurunkan harkat martabat manusia, tidak mengakibatkan kemaksiatan kepada Allah dan tidak menimbulkan mudharat (kerusakan/dampak negatif) di masyarakat.
“Sesungguhnya Allah itu Mahaindah (Al-Jamiil) dan menyukai keindahan” Itulah hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi dan Ath Thabarani.
Semoga dengan berkesenian akan memberikan kesegaran pada peradaban agar lebih imajinatif dan kreatif.